Selasa, Juli 17, 2012

Kedelai

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merill) DI PERKEBUNAN DESA KUSAMBA KABUPATEN KLUNGKUNG

Putu Utari
Program Studi Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan
Universitas Mahasaraswati Denpasar 2012

ABSTRACT

Soybean crop is one of the legumes - legumes whose seeds widely used as food ingredients such as soy sauce, tofu, and tempeh. Soybean is one source of vegetable protein and vegetable oil world. In indoneseia, soy is the main protein source, although Indonesia has to import most of white soy. This occurs because the need for white soybean in Indonesia is very high. During this time the source of the problem in the soybean plant is a pest on plants that cause a decrease in soybean yields. plant pests most insects. Diversity of insects found on soybean plants in the plantation village Kusamba Klungkung is grayak caterpillar (Spodoptera litura) and green ladybugs (Nezara Viridula). Both of these insects are very detrimental to soybean farmers for destroying the leaves of soybean and soybean seeds. Grayak caterpillar (Spodoptera litura) on soybean leaves and eat the seeds - seeds that are still young will cause damage to soybean plants. green beetle (Nezara Viridula) damaging young and old seed that will cause the seeds become wrinkled, look - black spots and eventually rot. The influence of insects in the garden will affect the soybean crop for farmers. By knowing the type - the type of insects that are found in soybean farm, the farmer can make the prevention and eradication more effectively.

Keywords: soybeans, insect, garden

PENDAHULUAN
Tanaman kedelai adalah salah satu tanaman polong – polongan yang bijinya banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan seperti kecap, tahu, dan tempe. Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati dan minyak nabati dunia. Di indoneseia, kedelai merupakan sumber protein utama, meskipun Indonesia harus mengimpor sebagaian besar kedelai putih. Ini terjadi karena kebutuhan akan kedelai putih di indonesia sangat tinggi. Saat ini kedelai banyak ditanam di dataran rendah yang tidak banyak mengandung air, seperti di pesisir Utara Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Utara(Gorontalo), Lampung, Sumatera Selatan dan Bali.
Makanan yang terbuat dari kedelai mempunyai jumlah isoflavon yang bervariasi, tergantung bagaimana mereka diproses. Makanan dari kedelai seperti tahu, susu kedelai, tepung kedelai dan kedelai utuh mempunyai kandungan isoflavon berkisar antara 130 – 380 mg/100 gram. Kecap dan minyak kedelai tidak mengandung isoflavon. Produk kedelai yang digunakan sebagai bahan tambahan pangan, seperti isalat dan konsentrat protein kedelai mempunyai kandungan isoflavon yang bervariasi, tergantung bagaimana proses pengolahannya. Misalnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan alkohol dalam proses ekstraksi menghasilkan kadar isoflavon yang rendah.
Kedelai telah menjadi makanan sehari-hari penduduk Asia. Pada sebagian besar negara Asia, konsumsi isoflavon diperkirakan antara 25 – 45 mg/hari. Jepang merupakan negara yang mengkonsumsi isoflavon terbesar, diperkirakan konsumsi harian orang Jepang adalah 200 mg/hari. Di negara-negara Barat konsumsinya kurang dari 5 mg isoflavon per hari. Perlu dilakukan peningkatan pembudidayaan tanaman kedelai disetiap wilayah di indonesia khususnya juga di wilayah provinsi Bali. Ini perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai dari wilayah bali yang akan berdampak pada peningkatan mutu kedelai. Selama ini yang menjadi sumber masalah pada tanaman kedelai adalah adanya hama pengganggu pada tanaman yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu dan hasil panen kedelai. Hama yang menyerang tanaman kedelai kebanyakan adalah serangga yang tentunya sangat mengganggu. Petani dan bahkan masyarakat belum banyak mengetahui keanekaragaman serangga yang terdapat pada tanaman kedelai.
Di Bali tanaman kedelai ditanaman dibeberapa daerah yang tersebar luas, salah satunya di wilayah perkebunan Desa Kusamba Kabupaten Klungkung. Pada perkebunan di Desa Kusamba, tanaman kedelai yang ditanam tersebut tentunya akan menggundang beberapa serangga yang ada disekitar perkebunan. Maka perlu diketahui keanekaragaman serangga yang ada diwilayah perkebunan desa Kusamba Kabupaten Klungkung. Dari latar belakang diatas adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah: Jenis serangga apa yang terdapat pada tanaman kedelai di wilayah perkebunan Desa Kusamba Kabupaten Klungkung? Dengan tujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis serangga yang terdapadt diwilayah perkebunan kedelai di Desa Kusamba Kabupaten Klungkung.

PEMBAHASAN
Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai yang kita kenal sekarang (Glycine max (L) Merril). Berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia, yang dibudidayakan mulai abad ke-17 sebagai tanaman makanan dan pupuk hijau. Penyebaran tanaman kedelai ke Indonesia berasal dari daerah Manshukuo menyebar ke daerah Mansyuria: Jepang (Asia Timur) dan ke negara-negara lain di Amerika dan Afrika.

Taksonomi Tanaman Kedelai
            Pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merill.
Morfologi Tanaman Kedelai
Biji kedelai berkeping dua, terbungkus kulit biji dan tidak mengandung jaringan endospperma. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit biji kuning, hitam, hijau, coklat. Pusar biji (hilum) adalah jaringan bekas biji melekat pada dinding buah. Bentuk biji kedelai umumnya bulat lonjong tetapai ada pula yang bundar atau bulat agak pipih. biji kedelai mempunyai ukuran bervariasi, mulai dari kecil (sekitar 7-9 g/100 biji), sedang (10-13g/100 biji), dan besar (>13 g/100 biji). Bentuk biji bervariasi, tergantung pada varietas tanaman, yaitu bulat, agak gepeng, dan bulat telur. Namun demikian, sebagian besar biji berbentuk bulat telur, Biji kedelai tidak mengalami masa dormansi sehingga setelah proses pembijian selesai, biji kedelai dapat langsung ditanam. Namun demikian, biji tersebut harus mempunyai kadar air berkisar 12-13%.
Biji kedelai yang kering akan berkecambah bila memperoleh air yang cukup. Kecambah kedelai tergolong epigeous, yaitu keping biji muncul diatas tanah. Warna hipokotil, yaitu bagian batang kecambah dibawah kepaing, ungu atau hijau yang berhubungan dengan warna bunga. Kedelai yang berhipokotil ungu berbunga ungu, sedang yang berhipokotil hijau berbunga putih. Kecambah kedelai dapat digunakan sebagai sayuran.
Tanaman kedelai mempunyai akar tunggang yang membentuk akar-akar cabang yang tumbuh menyamping (horizontal) tidak jauh dari permukaan tanah. Jika kelembapan tanah turun, akar akan berkembang lebih ke dalam agar dapat menyerap unsur hara dan air. Pertumbuhan ke samping dapat mencapai jarak 40 cm, dengan kedalaman hingga 120 cm. Selain berfungsi sebagai tempat bertumpunya tanaman dan alat pengangkut air maupun unsur hara, akar tanaman kedelai juga merupakan tempat terbentuknya bintil-bintil akar. Bintil akar tersebut berupa koloni dari bakteri pengikat nitrogen Bradyrhizobium japonicum yang bersimbiosis secara mutualis dengan kedelai. Pada tanah yang telah mengandung bakteri ini, bintil akar mulai terbentuk sekitar 15 – 20 hari setelah tanam. Bakteri bintil akar dapat mengikat nitrogen langsung dari udara dalam bentuk gas N2 yang kemudian dapat digunakan oleh kedelai setelah dioksidasi menjadi nitrat (NO3).
Hipokotil pada proses perkecambahan merupakan bagian batang, mulai dari pangkal akar sampai kotiledon. Hopikotil dan dua keeping kotiledon yang masih melekat pada hipokotil akan menerobos ke permukaan tanah. Bagian batang kecambah yang berada diatas kotiledon tersebut dinamakan epikotil. Kedelai berbatang dengan tinggi 30–100 cm. Batang dapat membentuk 3 sampai 6 cabang, tetapi bila jarak antar tanaman rapat, cabang menjadi berkurang, atau tidak bercabang sama sekali. Tipe pertumbuhan batang dapat dibedakan menjadi terbatas (determinate), tidak terbatas (indeterminate), dan setengah terbatas (semi-indeterminate). Tipe terbatas memiliki ciri khas berbunga serentak dan mengakhiri pertumbuhan meninggi. Tanaman pendek sampai sedang, ujung batang hampir sama besar dengan batang bagian tengah, daun teratas sama besar dengan daun batang tengah. Tipe tidak terbatas memiliki ciri berbunga secara bertahap dari bawah ke atas dan tumbuhan terus tumbuh. Tanaman berpostur sedang sampai tinggi, ujung batang lebih kecil dari bagian tengah. Tipe setengah terbatas memiliki karakteristik antara kedua tipe lainnya.
Sebagian besar kedelai mulai berbunga pada umur antara 5-7 minggu. Bunga kedelai termasuk bunga sempurna yaitu setiap bunga mempunyai alat jantan dan alat betina. Penyerbukan terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup sehingga kemungkinan kawin silang alami amat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Sekitar 60% bunga rontok sebelum membentuk polong.
Pembentukan bunga juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Pada suhu tinggi dan kelembaban rendah, jumlah sinar matahari yang jatuh pada ketiak tangkai daun lebih banyak. Hal ini akan merangsang pembentukan bunga. Tangkai bunga umumnya tumbuh dari ketiak tangkai daun yang diberi nama rasim. Jumlah bunga pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 2-25 bunga, tergantung kondisi lingkungan tumbuh dan varietas kedelai. Periode berbunga pada tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu untuk daerah subtropik dan 2-3 minggu di daerah tropik, seperti di Indonesia. Tanaman kedelai mempunyai dua bentuk daun yang dominan, yaitu stadia kotiledon pada buku (nodus) pertama tanaman yang tumbuh dari biji terbentuk sepasang daun tunggal. Selanjutnya, pada semua buku di atasnya terbentuk daun majemuk selalu dengan tiga helai. Helai daun tunggal memiliki tangkai pendek dan daun bertiga mempunyai tangkai agak panjang. Masing-masing daun berbentuk oval, tipis, dan berwarna hijau. Permukaan daun berbulu halus (trichoma) pada kedua sisi. Tunas atau bunga akan muncul pada ketiak tangkai daun majemuk. Setelah tua, daun menguning dan gugur, mulai dari daun yang menempel di bagian bawah batang.
Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50, bahkan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan warna polong, dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada saat masak.
Ulat Grayak (Spodoptera litura)
Ulat grayak memiliki ciri khas, yakni adanya dua bintik hitam berbentuk bulan sabit pada tiap ruas abdomen, terutama ruas keempat dan kesepuluh, yang dibatasi oleh garis lateral dan dorsal berwarna kuning yang membujur di sepanjang badan. Perkembangannya bersifat metamorfosis sempurna, terdiri atas stadia telur, ulat, kepompong, dan ngengat.
Ngengat mulai meletakkan telur pada pertanaman kedelai umur 3 minggu setelah tanam. Setelah telur menetas, ulat tinggal sementara di tempat telur diletakkan. Beberapa hari kemudian, ulat berpencaran. Stadium ulat terdiri atas enam instar yang berlangsung 14 hari. Ulat tua bersembunyi di tanah pada siang hari dan giat menyerang tanaman pada malam hari. Ulat berkepompong di dalam tanah. Stadium kepompong dan ngengat masing-masing 8 dan 9 hari. Ngengat meletakkan telur secara berkelompok yang ditutupi bulu-bulu halus berwarna coklat-kemerahan. Produksi telur rata-rata 1.413 butir/ekor. Stadium telur berlangsung 3 hari. Daur hidup ulat grayak dari telur ke telur berlangsung 28 hari, sedangkan panjang hidup dari telur hingga ngengat mati berlangsung 36 hari (Arifin, 1994).
Ulat grayak bersifat polifag. Ulat muda memakan daun sehingga bagian daun yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulang-tulangnya saja. Ulat tua merusak pertulangan daun sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan pada daun. Selama periode ulat instar VI yang berlangsung 3-4 hari, 2 ekor ulat mampu menghabiskan sebatang tanaman stadium vegetatif akhir dan 10 ekor ulat mampu menghabiskan sebatang tanaman stadia pembentukan polong (Arifin, 1994).
Kerusakan dan kehilangan hasil karena ulat grayak ditentukan oleh populasi dan stadia serangga, stadia tanaman, dan tingkat kerentanan varietas kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara populasi ulat dan hasil kedelai pada berbagai stadia tanaman dinyatakan dengan kurva yang bersifat nonlinier asimptotik. Kurva tersebut memiliki tipe gabungan antara kompensasi, linieritas, dan desensitisasi. Ini berarti bahwa tanaman kedelai mampu mengkompensasi kerusakan daun. Kemampuan tersebut terjadi apabila tanaman stadia vegetatif akhir, pembungaan, awal pembentukan polong, dan pengisian polong, masing-masing diserang ulat grayak kurang dari 1,9; 4,1; 3,1; dan 6,8 ekor/rumpun (Arifin, 1994).

Marfologi ulat grayak
            Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam. Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km. Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun (kadangkadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelompok masing-masing 25−500 butir. Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur bervariasi. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan (Lukman, 2011).
            Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung (bulan sabit) berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh . Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok. Beberapa hari setelah menetas (bergantung ketersediaan makanan), larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang lembap dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada intensitas cahaya matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar (Lukman, 2011).
            Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis ipsilon, namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada ulat grayak terdapat tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan garis punggung gelap memanjang (Lukman, 2011).
Ulat grayak memakan daun dan memakan polong-polong yang masih muda. Daun yang diserang ulat grayak berlubang-lubang, kemudian menjadi robek-robek. Pada serangan berat, daun tinggal tulang-tulangnya saja. Ulat grayak menyerang tanaman pada malam hari. Pada siang hari, ulat grayak bersembunyi di dalam tanah atau di tempat-tempat teduh seperti di balik daun. Ulat grayak memiliki kemampuan merusak tanaman kedelai sangat besar. Seekor ulat dewasa yang hidup pada tanaman umur 1-2 minggu dapat menyebabkan tanaman tidak berbuah sama sekali (Mahrita Wilis dan Muhammad Thamrin, 1994).
Kepik hijau (Nezara viridula)
Hama pengisap polong pada tanaman kedelai yang disebabkan oleh kepik hijau (Nezara viridula) dapat menyebabkan penurunan hasil dan bahkan dapat menurunkan kualitas biji. Akibat dari isapan hama pengisap polong dapat menyebabkan kehampaan, terlambat tumbuh dan terbentuk biji-biji yang cacat bentuknya yang biasanya memiliki bekas isapan.
Nezara viridula tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Di Indonesia, selain menyerang tanaman kedelai, serangga ini juga menyerang tanaman padi, jagung, tembakau, kentang, cabe, kapas dan berbagai jenis tanaman berpolong. Ciri-ciri Nezara viridula adalah Serangga dewasa biasanya berwarna hijau yang merata pada seluruh tubuh, tetapi kadang-kadang berwarna kuning pada bagian kepala dan protorak, dan jarang sekali yang seluruh tubuhnya berwarna kuning, tubuhnya berbentuk segilima seperti perisai, panjang tubuh sekitar 1-1.5 cm dan kepalanya bersungut, di punggungnya terdapat 3 bintik berwarna hijau. Sedangkan nimfanya (kepik muda) memiliki warna berbeda-beda tergantung perkembangan instarnya. Pada awalnya berwarna coklat muda, kemudian berubah menjadi hitam dengan bintik-bintik putih. Selanjutnya warna berubah menjadi hijau dan berbibtik-bintik hitam dan putih, kepik betina dewasa bertelur pada permukaan bawah daun dan jumlahnya mencapai 1100 butir selama hidupnya, telurnya berwarna kekuningan, kemudian berubah menjadi kuning, tetapi menjelang menetas warnanya berubah menjadi kemerahan (merah bata). Telur berbentuk oval agak bulat seperti tong. periode telur 4-6 hari. Perkembangan dari telur sampai menjadi serangga dewasa kurang lebih selama 4-8 minggu. Gejala serangannya adalah nimfa dan serangga dewasa merusak tanaman dengan cara mengisap polong kedelai. Pada polong yang masih muda dan terserang kepik hijau menyebabkan polong tersebut menjadi kosong (hampa) dan kempis karena biji tidak terbentuk dan polong gugur. Pada polong tua menyebabkan biji keriput dan berbintik-bintik hitam yang pada akhirnya biji menjadi busuk.

PENUTUP
            Kedelai merupakan salah satu sumber protein terbesar yang banyak dikomsumsi masyarakat. Dalam pembudidayaan kedelai ditemui beberapa hambatan yaitu munculnya serangga yang mengganggu proses pertumbuhan tanaman kedelai. Serangga yang banyak terdapat pada tanaman kedelai adalah serangga ulat grayak (Spodoptera litura) yang akan mengalami metamorphosis menjadi kupu - kupu dan kepik hijau (Nezara Viridula). Ulat grayak (Spodoptera litura) pada kedelai memakan daun dan biji – biji yang masih muda yang akan menyebabkan kerusakan pada tanaman kedelai. Sedangakan kepik hijau (Nezara Viridula) merusak biji yang muda dan tua yang akan menyebabkan biji menjadi keriput, berbintik – bintik hitam dan akhirnya busuk.
            Pengaruh adanya serangga pada kebun kedelai akan berpengaruh pada hasil panen bagi petani. Dengan diketahuinya jenis – jenis serangga yang terdapat pada kebun kedelai, petani dapat melakukan penanggulangan dan pemberantasan secara lebih efektif. Saran saya adalah penelitian ini perlu lebih dikembangkan lagi agar dapat diketahui keanekaragaman jenis serangga yang lain pada tanaman kedelai. Selain itu penelitian ini dapat digunakan sebagai media pembelajaran outdoor bagi siswa siswi SMP mau pun SMA dalam memperlajari tentang keanekaragaman serangga.



DAFTAR PUSTAKA

Haerunisa, R. (2010). Ilmu hama tumbuhan dasar. Diunggah ke http://rizkyhaerunisa08.student.ipb.ac.id/2010/06/19/laporan-ilmu-hama-tumbuhan-dasar-kedelai/
Hakim, L. (2011). Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura) Pada Tanaman Kedelai dan teknik  pengendaliannya.

Marwanto. (1992). Intensitas Serangan Jamur Selama Penundaan Saat Panen
dan Mutu Benih Kedelai (Glycine max L. Merill).

Nyentana


PERMASALAHAN SERTA PERGESERAN KONSEP NYENTANA DI DESA JEGU KECAMATAN PENEBEL KABUPATEN TABANAN


Oleh :
Putu Utari

Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mahasaraswati Denpasar



ABSTRACT

This study aims to find out the status and position of women who apply the concept of marriage family nyentana among the community people in the village of Jegu, learn concepts such as the manner marriage nyentana or religion. And a shift in the concept of nyentana among the people, especially in the village as the concept of marriage Jegu pade gelahang / negen. Data collection techniques in this peneilitian obtained from field observations and interviews with residents in the village district jegu Penebel tabanan district. The results of this study indicate nyentana Marriage is a marriage where the husband and wife come to live at home with the family of women (wives). In the process of conducting the marriage nyentana pemerajan farewell at the bridegroom. Because the prospective bride the men who will leave his family and his ancestors, to go into the women's families lineage. Since the farewell to the ancestors of the bridegroom to the rights of women and families tangungjawab. In this case, the groom's status is no longer as Purusa (male), but as pradana (female), so the groom followed his wife to live in families of women. In the traditional village Jegu women who have made changes in status through putrika tangungjawab and given the same status as befits a man in determining ayahan village and land. This means that he is obliged to continue his parents to inherit his family's inheritance. For that every citizen is required to pay dues, participate in the deliberation and participate bergotongroyong implementation activities undertaken in the village of jegu. If there is one member of the community who did not participate in meetings or do not pay dues, then he will be penalized.

Keywords: Marriage, Putrika, Communitie


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui status dan kedudukan perempuan dikeluaraga yang menerapkan konsep pernikahan nyentana dikalangan masyarakati Desa Jegu, mengetahui konsep pernikahaan nyentana tersebut menurut adat atau agama. Serta pergeseran konsep nyentana dikalangan masyarakat khususnya di Desa Jegu seiring adanya konsep pernikahan pade gelahang/negen. Teknik pengumpulan data dalam peneilitian ini didapatkan dari hasil observasi lapangan dan wawancara dengan warga di desa jegu kecamatan penebel kabupaten tabanan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan di mana sang suami ikut dengan istri dan tinggal bersama dirumah keluarga perempuan (istri). Dalam proses perkawinan nyentana yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah mempelai laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan keluarga dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan kelurga perempuan. Semenjak proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai laki-laki menjadi hak dan tangung jawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan), sehingga mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga perempuan.
 Pada Desa adat Jegu perempuan yang telah melakukan perubahan status melalui putrika diberikan tangung jawab dan kedudukan yang sama sebagaimana layaknya laki-laki dalam menentukan ayahan desa dan tanah milik. Artinya ia diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik keluarganya. Untuk itu setiap warga masyarakat diwajibkan untuk membayar iuran, ikut bermusyawarah dan ikut bergotongroyong dalam pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan di Desa jegu. Bila ada salah satu anggota masyarakat yang tidak ikut dalam pertemuan atau tidak membayar iuran, maka ia akan diberikan sanksi.

Kata Kunci : Pernikahaan, Putrika, Masyarakat



PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Bali adalah pulau yang memiliki budaya atau adat istiadat yang kaitannya dengan masyarakat yang sebagian besar beragama hindu. Pada ajaran Agama Hindu, Masyarakat Bali mengenal suatu istilah yang disebut “Catur Asrama”. Catur Asrama merupakan empat tahapan atau tingkatan di dalam menjalankan hidup di dunia , yaitu brahmacari, grhasta, sanyasin, bhiksuka. Grahasta merupakan tahapan kedua dalam kehidupan Masyarakat Bali yang berarti kehidupan di dalam berumah tangga.
            Tentunya awal dari suatu kehidupan berumah tangga yaitu terselenggaranya prosesi upacara pernikahan atau yang sering disebut “pawiwahan” dalam Masyarakat Bali. Dalam Masyarakat Bali, ada berbagai jenis upacara pawiwahan yang disesuaikan dengan desa, kala, patra. Umumnya dalam upacara pernikahan di Bali, pihak purusa (laki-laki) memiliki peran andil yang sangat besar dibandingkan dengan pihak pradana (perempuan). Tetapi pada upacara perkawinan dengan adat nyetana atau sentana tidak demikian dan merupakan kebalikan dari upacara pernikahan yang umumnya dilakukan. Dimana dalam upacara perkawinan secara sentana pihak wanita yaitu anak perempuan  berubah statusnya melalui perkawinan nyeburin (nyentana) sehingga menjadi sama statusnya  dengan status anak laki-laki. Perlu diketahui bahwa tidak setiap anak perempuan dapat dirubah statusnya karena ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Persyaratan tersebut salah satunya adalah pada keluaraga anak perempuan tidak memiliki keturunan anak laki – laki, sehingga untuk melanjutkan warisan keluarga harus ada penerus.
            Seiringi dengan berkembangnya jaman, pada saat sekarang ini perkawinan dengan system nyentana sudah tidak banyak dilakukan oleh generasi muda, karena dianggap sebagai diskriminasi terhadap anak khususnya pada anak perempuan. Sekarang perkawinan sentana atau nyentana sangat sedikit yang mau melakukan dengan adanya system pernikaan dengan istilah pade gelahang bareng atau negen.
            Pada masyarakat Desa Jegu kecamaan penebel Kabupaten Tabanan yang sering dihubungkan dengan nyentana, dimana sebagian besar masyarakatnya banyak melakukan pernikahan nyentana. Generasi muda ditabanan sekarang banyak yang tidak mempedulikan tuntan perkawinan nyentana tersebut. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang adanya pergeseran nyentana di daerah kabupaten tabanan.

Rumusan Masalah
        Berdasarkan dari latar belakang yang telah dikemukakan maka dapat dirumuskan permalahan sebagai berikut. 
1.  Bagaimanakah status dan kedudukan perempuan dikeluaraga yang menerapkan konsep pernikahan nyentana dikalangan masyarakat Desa Jegu?
2.      Apakah konsep pernikahaan nyentana tersebut menurut adat atau agama?
3.      Bagimanakah pergeseran konsep nyentana dikalangan masyarakat khususnya di Desa Jegu seiring adanya konsep pernikahan pade gelahang atau negen?

Tujuan Penelitian
            Berdasarkan Latar Belakang dan Rumusan masalah diatas adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.  Untuk mengetahui status dan kedudukan perempuan dikeluaraga yang menerapkan konsep pernikahan nyentana dikalangan masyarakat Desa Jegu.
2.    Untuk mengetahui konsep pernikahaan nyentana tersebut menurut adat atau agama.
3.  Untuk mengetahui pergeseran konsep nyentana dikalangan masyarakat khususnya di Desa Jegu seiring adanya konsep pernikahan pade gelahang atau negen.


Manfaat Program
            Penelitian ini diharapkan membawa manfaat yang positif bagi umat hindu.
1.      Generasi muda sekarang ini khususnya di daerah Desa Jegu Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan dapat lebih memahami konsep perkawinan nyentana.
2.  Dapat mengetahui lebih mendalam makna dari konsep pernikahan nyentana yang berkaitan dengan adat istiadat di Desa Jegu Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan
3.     Dapat mengetahui perbedaan konsep nyetana dengan konsep pernikahan pade gelahang atau negen dikalangan masyarakat beragama hindu.

Metode Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian survey yang secara umum bertujuan mengkaji makna dan pergeseran konsep pernikahaan nyentana seiring dengan munculnya penikahaan dengan konsep pade gelahang/negen. Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan dan wawancara, Subjek dari Penelitian ini adalah generasi muda hindu, dan generasi tua di daerah Tabanan khususnya didaerah kecamatan penebel. Objek penelitian ini adalah hasil wawancara tentang makna dan pergeseran konsep pernikahaan nyentana.
         Penelitian ini dilaksanakan di Desa Jegu Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan dari awal bulan maret sampai akhir bulan maret. Data dikumpulkan berdasarkan hasil wawancara secara langsung.


Hasil dan Pembahasan
a. Status Dan Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga Nyentana
Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan di mana sang suami ikut dengan istri dan tinggal bersama dirumah keluarga perempuan (istri). Dari hasil survey yang dilakukan pada karma – karma desa dan kelian adat didesa tersebut (Ratu aji) mempaparkan dalam proses perkawinan nyentana yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah mempelai laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan keluarga dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan kelurga perempuan. Semenjak proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai laki-laki menjadi hak dan tangungjawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan), sehingga mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga perempuan.
Pada perkawinan nyentana status perempuan telah diubah menjadi laki-laki yang dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Putrika artinya proses perbahan status dan kedudukan perempuan menjadi laki-laki melalui prosesi upacara adat yang harus disaksikan oleh tri saksi (tiga saksi) yaitu Tuhan, Leluhur dan masyarakat dan disetujui oleh kelurga serta dilegitimasi oleh perangkat desa adat. Jika kelurga putrika tidak menyetujui terjadinya prosesi putrika, maka prosesi putrika tidak boleh dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan peralihan kekayaan baik yang berupa benda materiil mapun yang berupa non materiil seperti sanggah dan leluhur (Suastika, 2003).
Perempuan yang telah diputrika memiliki status dan kedudukan sebagai laki-laki sesuai dengan legitimasi adat yang telah diberikan kepadanya. Sehingga semenjak prosesi putrika tersebut ia memiliki hak dan tangung jawab untuk menjadi ahli waris dan meneruskan garis keturunan kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya putrika ia juga memiliki tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala rumah tangga. Sebagai kepala keluarga putrika juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya, termasuk kebutuhan orangtuanya. Ia juga menjadi penentu setiap keputusan yang akan diambil oleh keluarga, berkaitan dengan permasalahan yang ada di keluarganya. Sedangkan laki-kaki yang nyentana mempunyai tangungjawab dan kewajiban sebagaimana layaknya perempuan dalam rumah tangga. Ia membantu istri untuk menjalankan roda perekonomian keluarga serta mengurus anak-anak. Dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga ia mesti meminta persetujuan dari istrinya terlebih dahulu. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya perubahan kewajiban dan tangungjawab yang sepenuhnya sudah ada pada pihak perempuan yang berstatus putrika. Sebagai ahli waris perempuan putrika mempunyai kewenangan “mutlak” berkaitan dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Kewenangan ini dimiliki berkaitan dengan statusnya sebagai akhli waris dan penerus keturunan keluarga. Sehingga ia diberikan keleluasaan untuk melakukan tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi keluarga. Keluasan kewenangan inilah yang tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan, khususnya dengan suami yang merasa tidak diberikan ruang dan kebebasan untuk ikut menentukan arah kebijakan keluarga.
Pada Desa adat Jegu perempuan yang telah melakukan perubahan status melalui putrika diberikan tangungjawab dan kedudukan yang sama sebagaimana layaknya laki-laki dalam menentukan ayahan desa dan tanah milik. Artinya ia diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik keluarganya.

b.   Konsep Penikahaan Nyentana dipandang dari adat atau agama
Nyentana merupakan hukum adat bukan kaidah agama hindu. Mungkin ada   sedikit kaitannya dengan tradisi beragama hindu di bali yang dikenal dengan istilah pradana dan purusa. Seseorang yang nyentana hendakanya mendapat persetujuan dahulu dari segenap warga dadia (soroh) dari lelaki dan perempuan, karena yang lelaki akan melepaskan hak dan kewajibanya di sanggah lama(purusha) dan menjadi warga baru disanggah baru (pradana). Lelaki yang nyentana biasanya menyembah dua kawitan yaitu kawitan yang lama dan yang baru.
Dalam sejarah banyak sekali leluhur orang bali yang sejak zaman dahulu mengambil langkah nyentana, jadi tidak ada  yang salah dalam hal nyentana yang penting adalaha bagaiamana membina kehidupan yang harmonis, sesuai dengan ajaran weda. Perkawinan itu bisa saja berlangsung bahagia, tergantung dari bagaimana si suami – istri bisa menciptakan surga dalam kehidupan  rumah tangganya.

c.       Pergeseran Konsep Nyentana Di Desa Jegu seiring dengan adanya konsep pernikahan pade Ngelahan/Negen
       
Perubahan paradigma dalam bidang pewarisan dan penerusan keturunan yang dapat dilakukan dengan cara putrika dan perkawinan nyentana memiliki warna tersendiri bagi masyarakat desa adat Jegu, khususnya bagi kaum perempuan. Mereka merasakan keleluasaan dan sekaligus tangungjawab yang teramat berat untuk menjalankan roda pemerintahan dalam keluarga. Lingkungan yang semula memberikan perlakuan sebagaimana lanyaknya perempuan pada umumnya yang hanya menurut pada laki-laki, seketika memberikan tangungjawab sebagai layaknya laki-laki untuk memikul tangungjawab penuh, membuat perempuan putrika merasakan diri pada beban yang teramat berat yang terlalu sulit untuk dipikulnya. Perbedaan antara orang tua dengan suami seringkali menimbulkan persoalan yang menyulitkan perempuan putrika untuk mengambil keputusan. Hal ini berimplikasi pada kondisi psikologis perempuan putrika. Jika mereka bisa menempatkan diri sebagai mana layaknya kepala keluarga, maka keutuhan rumah tangganya akan tetap bisa terjaga dengan baik dan mengalami pematangan psikologis. Sebaliknya, bila perempuan putrika tidak mampu memikul tangungjawab dan persoalan yang dihadapi dalam keluarga ia akan mengalami kemunduran psikologis dan kehancuran keluarga. Sementara keluasaan yang teramat besar seringkali membuat perempuan putrika merasa menjadi orang yang mengatur, berkuasa, menentukan, dan bertindak arogan tanpa memikirkan kedudukan dan posisi suami. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap laki-laki yang nyentana, kebanyakan perempuan putrika yang ada di desa adat Jegu merasa berkuasa, mengatur dan cenderung bersifat otoriter terhadap suami. Hal ini dapat ditemukan ketika terjadi diskusi perempuan putrika lebih banyak mempertahankan ide atau gagasannya demikian juga ketika terjadi perselisihan perempuan putrika lebih dominan dibandingkan suaminya dan sering mengucapkan kata-kata yang tidak pantas (Sukadi, 2000).
Seiring berkembangnya zaman masyarakat desa jegu mulai tidak terlalu mempedulikan tentang konsep pernikahaan nyentana. Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan telah banyak generasi muda desa adat Jegu pada khususnya menerapkan system pernikahan negen atau yang sering disebut pade gelahan. Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa. Dari hasil wawancara factor yang menyebabkan adanya pernikaan pade gelahan ini adalah calon istri merupakan anak semata wayang sehingga tidak ingin kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau baik calon suami maupun istri merupakan anak semata wayang, Jika calon suami memiliki saudara laki-laki, namun di dalam desa , kala, patra keluarga suami tidak lazim mengadakan sistem Nyentana (hanya istri yang berperan senagai Purusa), sehingga dilaksanakan sistem Perkawinan Gelahang Bareng/Negen. Perkawinan Negen Dadua merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu dari Perkawinan Negen Dadua telah memunculkan anak-anak perempuan di Bali untuk mendapatkan hak waris dari orang tuanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem perkawinan ini merupakan persamaan derajat yang menjungjung tinggi HAM (Hak Azasi Manusia), khususnya terhadap anak-anak yang lahir perempuan karena Masyarakat Bali menganut sistem patrilinial. Sebagai syarat sahnya Perkawinan “Negen Dadua” dapat disimpulkan apabila telah melakukan beberapa prosesi secara Agama Hindu dan Adat Bali, yaitu : sudah dilangsungkan Upacara Pebyakaonan, dan tidak dilakukan Upacara Mepamit, serta sudah disepakati oleh Mempelai, Orang Tua (Ayah, Ibu kedua belah pihak) berguna untuk menyelamatkan keturunan bagi mereka yang tidak memiliki anak laki-laki, manakala mempelai pria juga tidak berkenan untuk nyentana( dalam winda, dkk).


Kesimpulan
            Berdasarkan hasil uraian yang telah dibahas diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.      Status dan kedudukan perempuan yang menerapkan konsep nyentana dikeluarganya adalah perempuan yang statusnya menjadi laki-laki yang dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Sehingga semenjak prosesi putrika tersebut ia memiliki hak dan tangungjawab untuk menjadi ahli waris dan meneruskan garis keturunan kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya putrika ia juga memiliki tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala rumah tangga. Juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya, termasuk kebutuhan orangtuanya.
2.      Perempuan yang patrika di desa adat jegu mempunyai tanggung jawab dikeluarga dan di desa adat.  Juga diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik keluarganya. Ikut bermusyawarah dan ikut bergotongroyong dalam pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan di Desa jegu. Bila tidak ikut akan diberikan sangsi.
3.      Konsep pernikahaan nyentana di Bali dan di Desa Adat Jegu pada khususnya merupakan hukum adat dan bukan merupakan kaidah dari agama hindu.
4.      Pergeseran konsep nyentana yang terjadi di Desa jegu merupakan bentuk dari dampak negatif yang diperlihatkan keluarga yang sudah melakukan nyentana pada zaman dulu sehingga kaum muda sekarang banyak menggunakan sistem pernikahaan pade gelahan karena dianggap lebih adil.



DAFTAR PUSTAKA

Panetje, G. (1989). Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali : Denpasar ; Guna Agung.

Windia, P. Perkawinan pada Gelahang,Udayana University Press.

Sadia, W. (2001). Pedoman Penyusunan Proposal Penelitian. Singaraja: Lembaga Penelitian IKIP Negeri Singaraja

Suastika, N. (2003). Sikap Piolitik dan Keseteraan Gender Di Kalangan Kaum Wanita Pedesaan di Provinsi Bali Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. Singaraja : IKIP Negeri Singaraja.

Sukadi. (2000). Tanah Laba Pura dan Pergeseran Nilai Sosial-Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Jepang: The Toyota Foundation-Grant Number 017-Y-1996.

Suyatna, I.G. (1982). Ciri-ciri Kedinamsan Kelompok Sosial Tradisional dan Peranannya dalam Pembangunan : Bogor Disertasi Fak Pertanian IPB

Wiana, K. (1993). Palinggih di Pamerajan. Denpasar: Upada Sastra.