Selasa, Juli 17, 2012

Nyentana


PERMASALAHAN SERTA PERGESERAN KONSEP NYENTANA DI DESA JEGU KECAMATAN PENEBEL KABUPATEN TABANAN


Oleh :
Putu Utari

Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mahasaraswati Denpasar



ABSTRACT

This study aims to find out the status and position of women who apply the concept of marriage family nyentana among the community people in the village of Jegu, learn concepts such as the manner marriage nyentana or religion. And a shift in the concept of nyentana among the people, especially in the village as the concept of marriage Jegu pade gelahang / negen. Data collection techniques in this peneilitian obtained from field observations and interviews with residents in the village district jegu Penebel tabanan district. The results of this study indicate nyentana Marriage is a marriage where the husband and wife come to live at home with the family of women (wives). In the process of conducting the marriage nyentana pemerajan farewell at the bridegroom. Because the prospective bride the men who will leave his family and his ancestors, to go into the women's families lineage. Since the farewell to the ancestors of the bridegroom to the rights of women and families tangungjawab. In this case, the groom's status is no longer as Purusa (male), but as pradana (female), so the groom followed his wife to live in families of women. In the traditional village Jegu women who have made changes in status through putrika tangungjawab and given the same status as befits a man in determining ayahan village and land. This means that he is obliged to continue his parents to inherit his family's inheritance. For that every citizen is required to pay dues, participate in the deliberation and participate bergotongroyong implementation activities undertaken in the village of jegu. If there is one member of the community who did not participate in meetings or do not pay dues, then he will be penalized.

Keywords: Marriage, Putrika, Communitie


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui status dan kedudukan perempuan dikeluaraga yang menerapkan konsep pernikahan nyentana dikalangan masyarakati Desa Jegu, mengetahui konsep pernikahaan nyentana tersebut menurut adat atau agama. Serta pergeseran konsep nyentana dikalangan masyarakat khususnya di Desa Jegu seiring adanya konsep pernikahan pade gelahang/negen. Teknik pengumpulan data dalam peneilitian ini didapatkan dari hasil observasi lapangan dan wawancara dengan warga di desa jegu kecamatan penebel kabupaten tabanan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan di mana sang suami ikut dengan istri dan tinggal bersama dirumah keluarga perempuan (istri). Dalam proses perkawinan nyentana yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah mempelai laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan keluarga dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan kelurga perempuan. Semenjak proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai laki-laki menjadi hak dan tangung jawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan), sehingga mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga perempuan.
 Pada Desa adat Jegu perempuan yang telah melakukan perubahan status melalui putrika diberikan tangung jawab dan kedudukan yang sama sebagaimana layaknya laki-laki dalam menentukan ayahan desa dan tanah milik. Artinya ia diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik keluarganya. Untuk itu setiap warga masyarakat diwajibkan untuk membayar iuran, ikut bermusyawarah dan ikut bergotongroyong dalam pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan di Desa jegu. Bila ada salah satu anggota masyarakat yang tidak ikut dalam pertemuan atau tidak membayar iuran, maka ia akan diberikan sanksi.

Kata Kunci : Pernikahaan, Putrika, Masyarakat



PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Bali adalah pulau yang memiliki budaya atau adat istiadat yang kaitannya dengan masyarakat yang sebagian besar beragama hindu. Pada ajaran Agama Hindu, Masyarakat Bali mengenal suatu istilah yang disebut “Catur Asrama”. Catur Asrama merupakan empat tahapan atau tingkatan di dalam menjalankan hidup di dunia , yaitu brahmacari, grhasta, sanyasin, bhiksuka. Grahasta merupakan tahapan kedua dalam kehidupan Masyarakat Bali yang berarti kehidupan di dalam berumah tangga.
            Tentunya awal dari suatu kehidupan berumah tangga yaitu terselenggaranya prosesi upacara pernikahan atau yang sering disebut “pawiwahan” dalam Masyarakat Bali. Dalam Masyarakat Bali, ada berbagai jenis upacara pawiwahan yang disesuaikan dengan desa, kala, patra. Umumnya dalam upacara pernikahan di Bali, pihak purusa (laki-laki) memiliki peran andil yang sangat besar dibandingkan dengan pihak pradana (perempuan). Tetapi pada upacara perkawinan dengan adat nyetana atau sentana tidak demikian dan merupakan kebalikan dari upacara pernikahan yang umumnya dilakukan. Dimana dalam upacara perkawinan secara sentana pihak wanita yaitu anak perempuan  berubah statusnya melalui perkawinan nyeburin (nyentana) sehingga menjadi sama statusnya  dengan status anak laki-laki. Perlu diketahui bahwa tidak setiap anak perempuan dapat dirubah statusnya karena ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Persyaratan tersebut salah satunya adalah pada keluaraga anak perempuan tidak memiliki keturunan anak laki – laki, sehingga untuk melanjutkan warisan keluarga harus ada penerus.
            Seiringi dengan berkembangnya jaman, pada saat sekarang ini perkawinan dengan system nyentana sudah tidak banyak dilakukan oleh generasi muda, karena dianggap sebagai diskriminasi terhadap anak khususnya pada anak perempuan. Sekarang perkawinan sentana atau nyentana sangat sedikit yang mau melakukan dengan adanya system pernikaan dengan istilah pade gelahang bareng atau negen.
            Pada masyarakat Desa Jegu kecamaan penebel Kabupaten Tabanan yang sering dihubungkan dengan nyentana, dimana sebagian besar masyarakatnya banyak melakukan pernikahan nyentana. Generasi muda ditabanan sekarang banyak yang tidak mempedulikan tuntan perkawinan nyentana tersebut. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang adanya pergeseran nyentana di daerah kabupaten tabanan.

Rumusan Masalah
        Berdasarkan dari latar belakang yang telah dikemukakan maka dapat dirumuskan permalahan sebagai berikut. 
1.  Bagaimanakah status dan kedudukan perempuan dikeluaraga yang menerapkan konsep pernikahan nyentana dikalangan masyarakat Desa Jegu?
2.      Apakah konsep pernikahaan nyentana tersebut menurut adat atau agama?
3.      Bagimanakah pergeseran konsep nyentana dikalangan masyarakat khususnya di Desa Jegu seiring adanya konsep pernikahan pade gelahang atau negen?

Tujuan Penelitian
            Berdasarkan Latar Belakang dan Rumusan masalah diatas adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.  Untuk mengetahui status dan kedudukan perempuan dikeluaraga yang menerapkan konsep pernikahan nyentana dikalangan masyarakat Desa Jegu.
2.    Untuk mengetahui konsep pernikahaan nyentana tersebut menurut adat atau agama.
3.  Untuk mengetahui pergeseran konsep nyentana dikalangan masyarakat khususnya di Desa Jegu seiring adanya konsep pernikahan pade gelahang atau negen.


Manfaat Program
            Penelitian ini diharapkan membawa manfaat yang positif bagi umat hindu.
1.      Generasi muda sekarang ini khususnya di daerah Desa Jegu Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan dapat lebih memahami konsep perkawinan nyentana.
2.  Dapat mengetahui lebih mendalam makna dari konsep pernikahan nyentana yang berkaitan dengan adat istiadat di Desa Jegu Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan
3.     Dapat mengetahui perbedaan konsep nyetana dengan konsep pernikahan pade gelahang atau negen dikalangan masyarakat beragama hindu.

Metode Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian survey yang secara umum bertujuan mengkaji makna dan pergeseran konsep pernikahaan nyentana seiring dengan munculnya penikahaan dengan konsep pade gelahang/negen. Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan dan wawancara, Subjek dari Penelitian ini adalah generasi muda hindu, dan generasi tua di daerah Tabanan khususnya didaerah kecamatan penebel. Objek penelitian ini adalah hasil wawancara tentang makna dan pergeseran konsep pernikahaan nyentana.
         Penelitian ini dilaksanakan di Desa Jegu Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan dari awal bulan maret sampai akhir bulan maret. Data dikumpulkan berdasarkan hasil wawancara secara langsung.


Hasil dan Pembahasan
a. Status Dan Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga Nyentana
Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan di mana sang suami ikut dengan istri dan tinggal bersama dirumah keluarga perempuan (istri). Dari hasil survey yang dilakukan pada karma – karma desa dan kelian adat didesa tersebut (Ratu aji) mempaparkan dalam proses perkawinan nyentana yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah mempelai laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan keluarga dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan kelurga perempuan. Semenjak proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai laki-laki menjadi hak dan tangungjawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan), sehingga mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga perempuan.
Pada perkawinan nyentana status perempuan telah diubah menjadi laki-laki yang dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Putrika artinya proses perbahan status dan kedudukan perempuan menjadi laki-laki melalui prosesi upacara adat yang harus disaksikan oleh tri saksi (tiga saksi) yaitu Tuhan, Leluhur dan masyarakat dan disetujui oleh kelurga serta dilegitimasi oleh perangkat desa adat. Jika kelurga putrika tidak menyetujui terjadinya prosesi putrika, maka prosesi putrika tidak boleh dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan peralihan kekayaan baik yang berupa benda materiil mapun yang berupa non materiil seperti sanggah dan leluhur (Suastika, 2003).
Perempuan yang telah diputrika memiliki status dan kedudukan sebagai laki-laki sesuai dengan legitimasi adat yang telah diberikan kepadanya. Sehingga semenjak prosesi putrika tersebut ia memiliki hak dan tangung jawab untuk menjadi ahli waris dan meneruskan garis keturunan kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya putrika ia juga memiliki tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala rumah tangga. Sebagai kepala keluarga putrika juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya, termasuk kebutuhan orangtuanya. Ia juga menjadi penentu setiap keputusan yang akan diambil oleh keluarga, berkaitan dengan permasalahan yang ada di keluarganya. Sedangkan laki-kaki yang nyentana mempunyai tangungjawab dan kewajiban sebagaimana layaknya perempuan dalam rumah tangga. Ia membantu istri untuk menjalankan roda perekonomian keluarga serta mengurus anak-anak. Dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga ia mesti meminta persetujuan dari istrinya terlebih dahulu. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya perubahan kewajiban dan tangungjawab yang sepenuhnya sudah ada pada pihak perempuan yang berstatus putrika. Sebagai ahli waris perempuan putrika mempunyai kewenangan “mutlak” berkaitan dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Kewenangan ini dimiliki berkaitan dengan statusnya sebagai akhli waris dan penerus keturunan keluarga. Sehingga ia diberikan keleluasaan untuk melakukan tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi keluarga. Keluasan kewenangan inilah yang tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan, khususnya dengan suami yang merasa tidak diberikan ruang dan kebebasan untuk ikut menentukan arah kebijakan keluarga.
Pada Desa adat Jegu perempuan yang telah melakukan perubahan status melalui putrika diberikan tangungjawab dan kedudukan yang sama sebagaimana layaknya laki-laki dalam menentukan ayahan desa dan tanah milik. Artinya ia diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik keluarganya.

b.   Konsep Penikahaan Nyentana dipandang dari adat atau agama
Nyentana merupakan hukum adat bukan kaidah agama hindu. Mungkin ada   sedikit kaitannya dengan tradisi beragama hindu di bali yang dikenal dengan istilah pradana dan purusa. Seseorang yang nyentana hendakanya mendapat persetujuan dahulu dari segenap warga dadia (soroh) dari lelaki dan perempuan, karena yang lelaki akan melepaskan hak dan kewajibanya di sanggah lama(purusha) dan menjadi warga baru disanggah baru (pradana). Lelaki yang nyentana biasanya menyembah dua kawitan yaitu kawitan yang lama dan yang baru.
Dalam sejarah banyak sekali leluhur orang bali yang sejak zaman dahulu mengambil langkah nyentana, jadi tidak ada  yang salah dalam hal nyentana yang penting adalaha bagaiamana membina kehidupan yang harmonis, sesuai dengan ajaran weda. Perkawinan itu bisa saja berlangsung bahagia, tergantung dari bagaimana si suami – istri bisa menciptakan surga dalam kehidupan  rumah tangganya.

c.       Pergeseran Konsep Nyentana Di Desa Jegu seiring dengan adanya konsep pernikahan pade Ngelahan/Negen
       
Perubahan paradigma dalam bidang pewarisan dan penerusan keturunan yang dapat dilakukan dengan cara putrika dan perkawinan nyentana memiliki warna tersendiri bagi masyarakat desa adat Jegu, khususnya bagi kaum perempuan. Mereka merasakan keleluasaan dan sekaligus tangungjawab yang teramat berat untuk menjalankan roda pemerintahan dalam keluarga. Lingkungan yang semula memberikan perlakuan sebagaimana lanyaknya perempuan pada umumnya yang hanya menurut pada laki-laki, seketika memberikan tangungjawab sebagai layaknya laki-laki untuk memikul tangungjawab penuh, membuat perempuan putrika merasakan diri pada beban yang teramat berat yang terlalu sulit untuk dipikulnya. Perbedaan antara orang tua dengan suami seringkali menimbulkan persoalan yang menyulitkan perempuan putrika untuk mengambil keputusan. Hal ini berimplikasi pada kondisi psikologis perempuan putrika. Jika mereka bisa menempatkan diri sebagai mana layaknya kepala keluarga, maka keutuhan rumah tangganya akan tetap bisa terjaga dengan baik dan mengalami pematangan psikologis. Sebaliknya, bila perempuan putrika tidak mampu memikul tangungjawab dan persoalan yang dihadapi dalam keluarga ia akan mengalami kemunduran psikologis dan kehancuran keluarga. Sementara keluasaan yang teramat besar seringkali membuat perempuan putrika merasa menjadi orang yang mengatur, berkuasa, menentukan, dan bertindak arogan tanpa memikirkan kedudukan dan posisi suami. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap laki-laki yang nyentana, kebanyakan perempuan putrika yang ada di desa adat Jegu merasa berkuasa, mengatur dan cenderung bersifat otoriter terhadap suami. Hal ini dapat ditemukan ketika terjadi diskusi perempuan putrika lebih banyak mempertahankan ide atau gagasannya demikian juga ketika terjadi perselisihan perempuan putrika lebih dominan dibandingkan suaminya dan sering mengucapkan kata-kata yang tidak pantas (Sukadi, 2000).
Seiring berkembangnya zaman masyarakat desa jegu mulai tidak terlalu mempedulikan tentang konsep pernikahaan nyentana. Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan telah banyak generasi muda desa adat Jegu pada khususnya menerapkan system pernikahan negen atau yang sering disebut pade gelahan. Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa. Dari hasil wawancara factor yang menyebabkan adanya pernikaan pade gelahan ini adalah calon istri merupakan anak semata wayang sehingga tidak ingin kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau baik calon suami maupun istri merupakan anak semata wayang, Jika calon suami memiliki saudara laki-laki, namun di dalam desa , kala, patra keluarga suami tidak lazim mengadakan sistem Nyentana (hanya istri yang berperan senagai Purusa), sehingga dilaksanakan sistem Perkawinan Gelahang Bareng/Negen. Perkawinan Negen Dadua merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu dari Perkawinan Negen Dadua telah memunculkan anak-anak perempuan di Bali untuk mendapatkan hak waris dari orang tuanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem perkawinan ini merupakan persamaan derajat yang menjungjung tinggi HAM (Hak Azasi Manusia), khususnya terhadap anak-anak yang lahir perempuan karena Masyarakat Bali menganut sistem patrilinial. Sebagai syarat sahnya Perkawinan “Negen Dadua” dapat disimpulkan apabila telah melakukan beberapa prosesi secara Agama Hindu dan Adat Bali, yaitu : sudah dilangsungkan Upacara Pebyakaonan, dan tidak dilakukan Upacara Mepamit, serta sudah disepakati oleh Mempelai, Orang Tua (Ayah, Ibu kedua belah pihak) berguna untuk menyelamatkan keturunan bagi mereka yang tidak memiliki anak laki-laki, manakala mempelai pria juga tidak berkenan untuk nyentana( dalam winda, dkk).


Kesimpulan
            Berdasarkan hasil uraian yang telah dibahas diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.      Status dan kedudukan perempuan yang menerapkan konsep nyentana dikeluarganya adalah perempuan yang statusnya menjadi laki-laki yang dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Sehingga semenjak prosesi putrika tersebut ia memiliki hak dan tangungjawab untuk menjadi ahli waris dan meneruskan garis keturunan kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya putrika ia juga memiliki tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala rumah tangga. Juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya, termasuk kebutuhan orangtuanya.
2.      Perempuan yang patrika di desa adat jegu mempunyai tanggung jawab dikeluarga dan di desa adat.  Juga diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik keluarganya. Ikut bermusyawarah dan ikut bergotongroyong dalam pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan di Desa jegu. Bila tidak ikut akan diberikan sangsi.
3.      Konsep pernikahaan nyentana di Bali dan di Desa Adat Jegu pada khususnya merupakan hukum adat dan bukan merupakan kaidah dari agama hindu.
4.      Pergeseran konsep nyentana yang terjadi di Desa jegu merupakan bentuk dari dampak negatif yang diperlihatkan keluarga yang sudah melakukan nyentana pada zaman dulu sehingga kaum muda sekarang banyak menggunakan sistem pernikahaan pade gelahan karena dianggap lebih adil.



DAFTAR PUSTAKA

Panetje, G. (1989). Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali : Denpasar ; Guna Agung.

Windia, P. Perkawinan pada Gelahang,Udayana University Press.

Sadia, W. (2001). Pedoman Penyusunan Proposal Penelitian. Singaraja: Lembaga Penelitian IKIP Negeri Singaraja

Suastika, N. (2003). Sikap Piolitik dan Keseteraan Gender Di Kalangan Kaum Wanita Pedesaan di Provinsi Bali Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. Singaraja : IKIP Negeri Singaraja.

Sukadi. (2000). Tanah Laba Pura dan Pergeseran Nilai Sosial-Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Jepang: The Toyota Foundation-Grant Number 017-Y-1996.

Suyatna, I.G. (1982). Ciri-ciri Kedinamsan Kelompok Sosial Tradisional dan Peranannya dalam Pembangunan : Bogor Disertasi Fak Pertanian IPB

Wiana, K. (1993). Palinggih di Pamerajan. Denpasar: Upada Sastra.

                                                  





























1 komentar: