PERMASALAHAN
SERTA PERGESERAN KONSEP NYENTANA DI DESA JEGU KECAMATAN PENEBEL KABUPATEN
TABANAN
Oleh :
Putu Utari
Program Studi
Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
This study aims to find out the status and position of women
who apply the concept of marriage family nyentana among the community people in
the village of Jegu, learn concepts such as the manner marriage nyentana or
religion. And a shift in the concept of nyentana among the people, especially
in the village as the concept of marriage Jegu pade gelahang / negen. Data
collection techniques in this peneilitian obtained from field observations and
interviews with residents in the village district jegu Penebel tabanan
district. The results of this
study indicate nyentana Marriage is a marriage
where the husband and wife come to live at home with the family of
women (wives). In the process of
conducting the marriage
nyentana pemerajan farewell at the bridegroom. Because the prospective bride the
men who will leave his family and his ancestors, to go into the women's families lineage.
Since the farewell
to the ancestors of the bridegroom to
the rights of women and families tangungjawab.
In this case, the groom's status is no longer
as Purusa (male),
but as pradana
(female), so the groom
followed his wife to live in families of women. In the
traditional village Jegu women who have made changes in status through putrika
tangungjawab and given the same status as befits a man in determining ayahan
village and land. This means that he is obliged to continue his parents to
inherit his family's inheritance. For that every citizen is required to pay
dues, participate in the deliberation and participate bergotongroyong implementation
activities undertaken in the village of jegu. If there is one member of the
community who did not participate in meetings or do not pay dues, then he will
be penalized.
Keywords: Marriage, Putrika, Communitie
ABSTRAK
Penelitian
ini bertujuan Untuk mengetahui status dan kedudukan perempuan dikeluaraga yang
menerapkan konsep pernikahan nyentana dikalangan masyarakati Desa Jegu,
mengetahui konsep pernikahaan nyentana tersebut menurut adat atau agama. Serta
pergeseran konsep nyentana dikalangan masyarakat khususnya di Desa Jegu seiring
adanya konsep pernikahan pade gelahang/negen. Teknik pengumpulan data dalam
peneilitian ini didapatkan dari hasil observasi lapangan dan wawancara dengan
warga di desa jegu kecamatan penebel kabupaten tabanan.
Hasil
dari penelitian ini menunjukkan adanya Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan di mana
sang suami ikut dengan istri dan tinggal bersama dirumah keluarga perempuan
(istri). Dalam proses perkawinan nyentana yang melakukan proses berpamitan di
pemerajan adalah mempelai laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang
akan meninggalkan keluarga dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan
kelurga perempuan. Semenjak proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai
laki-laki menjadi hak dan tangung jawab kelurga
perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya tidak lagi sebagai
purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan), sehingga mempelai
laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga perempuan.
Pada Desa adat Jegu perempuan yang
telah melakukan perubahan status melalui putrika diberikan tangung jawab dan kedudukan yang sama sebagaimana layaknya
laki-laki dalam menentukan ayahan desa dan tanah milik. Artinya ia diwajibkan
untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik keluarganya. Untuk itu setiap
warga masyarakat diwajibkan untuk membayar iuran, ikut bermusyawarah dan ikut
bergotongroyong dalam pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan di Desa jegu. Bila ada salah satu anggota masyarakat yang tidak ikut
dalam pertemuan atau tidak membayar iuran, maka ia akan diberikan sanksi.
Kata
Kunci : Pernikahaan, Putrika, Masyarakat
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Bali
adalah pulau yang memiliki budaya atau adat istiadat yang kaitannya dengan
masyarakat yang sebagian besar beragama hindu. Pada ajaran
Agama Hindu, Masyarakat Bali mengenal suatu istilah yang disebut “Catur Asrama”. Catur Asrama merupakan
empat tahapan atau tingkatan di dalam menjalankan hidup di dunia , yaitu
brahmacari, grhasta, sanyasin, bhiksuka. Grahasta merupakan tahapan kedua dalam
kehidupan Masyarakat Bali yang berarti kehidupan di dalam berumah tangga.
Tentunya awal dari suatu kehidupan
berumah tangga yaitu terselenggaranya prosesi upacara pernikahan atau yang
sering disebut “pawiwahan” dalam
Masyarakat Bali. Dalam Masyarakat Bali, ada berbagai jenis upacara pawiwahan
yang disesuaikan dengan desa, kala, patra. Umumnya dalam upacara pernikahan di
Bali, pihak purusa (laki-laki) memiliki peran andil yang sangat besar
dibandingkan dengan pihak pradana (perempuan). Tetapi pada upacara perkawinan
dengan adat nyetana atau sentana tidak demikian dan merupakan kebalikan dari
upacara pernikahan yang umumnya dilakukan. Dimana dalam upacara perkawinan
secara sentana pihak wanita yaitu anak perempuan berubah statusnya melalui perkawinan nyeburin
(nyentana) sehingga menjadi sama statusnya
dengan status anak laki-laki. Perlu diketahui bahwa tidak setiap anak
perempuan dapat dirubah statusnya karena ada persyaratan-persyaratan tertentu
yang harus dipenuhi. Persyaratan tersebut salah satunya adalah pada keluaraga
anak perempuan tidak memiliki keturunan anak laki – laki, sehingga untuk
melanjutkan warisan keluarga harus ada penerus.
Seiringi dengan berkembangnya jaman,
pada saat sekarang ini perkawinan dengan system nyentana sudah tidak banyak
dilakukan oleh generasi muda, karena dianggap sebagai diskriminasi terhadap
anak khususnya pada anak perempuan. Sekarang perkawinan sentana atau nyentana
sangat sedikit yang mau melakukan dengan adanya system pernikaan dengan istilah
pade gelahang bareng atau negen.
Pada masyarakat Desa Jegu kecamaan
penebel Kabupaten Tabanan yang sering dihubungkan dengan nyentana, dimana
sebagian besar masyarakatnya banyak melakukan pernikahan nyentana. Generasi
muda ditabanan sekarang banyak yang tidak mempedulikan tuntan perkawinan
nyentana tersebut. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam tentang adanya pergeseran nyentana di daerah kabupaten tabanan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang
telah dikemukakan maka dapat dirumuskan permalahan sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah
status dan kedudukan perempuan dikeluaraga yang menerapkan konsep pernikahan
nyentana dikalangan masyarakat Desa Jegu?
2.
Apakah
konsep pernikahaan nyentana tersebut menurut adat atau agama?
3.
Bagimanakah
pergeseran konsep nyentana dikalangan masyarakat khususnya di Desa Jegu seiring
adanya konsep pernikahan pade gelahang atau negen?
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan Latar Belakang dan
Rumusan masalah diatas adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk
mengetahui status dan kedudukan perempuan dikeluaraga yang menerapkan konsep
pernikahan nyentana dikalangan masyarakat Desa Jegu.
2.
Untuk
mengetahui konsep pernikahaan nyentana tersebut menurut adat atau agama.
3. Untuk
mengetahui pergeseran konsep nyentana dikalangan masyarakat khususnya di Desa
Jegu seiring adanya konsep pernikahan pade gelahang atau negen.
Manfaat Program
Penelitian ini diharapkan membawa
manfaat yang positif bagi umat hindu.
1.
Generasi
muda sekarang ini khususnya di daerah Desa Jegu Kecamatan Penebel Kabupaten
Tabanan dapat lebih memahami konsep perkawinan nyentana.
2. Dapat
mengetahui lebih mendalam makna dari konsep pernikahan nyentana yang berkaitan
dengan adat istiadat di Desa Jegu Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan
3.
Dapat
mengetahui perbedaan konsep nyetana dengan konsep pernikahan pade gelahang atau
negen dikalangan masyarakat beragama hindu.
Metode
Penelitian
Jenis penelitian
ini merupakan penelitian survey yang secara umum bertujuan mengkaji makna dan
pergeseran konsep pernikahaan nyentana seiring dengan munculnya penikahaan
dengan konsep pade gelahang/negen. Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah observasi lapangan dan wawancara, Subjek dari Penelitian ini adalah
generasi muda hindu, dan generasi tua di daerah Tabanan khususnya didaerah
kecamatan penebel. Objek penelitian ini adalah hasil wawancara tentang makna
dan pergeseran konsep pernikahaan nyentana.
Penelitian ini
dilaksanakan di Desa Jegu Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan dari awal bulan
maret sampai akhir bulan maret. Data dikumpulkan berdasarkan hasil wawancara
secara langsung.
Hasil dan Pembahasan
a.
Status Dan Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga Nyentana
Perkawinan
nyentana merupakan suatu perkawinan di mana sang suami ikut dengan istri dan
tinggal bersama dirumah keluarga perempuan (istri). Dari hasil
survey yang dilakukan pada karma – karma desa dan kelian adat didesa tersebut
(Ratu aji) mempaparkan dalam proses
perkawinan nyentana yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah
mempelai laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan
keluarga dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan kelurga perempuan.
Semenjak proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai laki-laki menjadi hak
dan tangungjawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya
tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan),
sehingga mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga
perempuan.
Pada
perkawinan nyentana status perempuan telah diubah menjadi laki-laki yang
dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Putrika
artinya proses perbahan status dan kedudukan perempuan menjadi laki-laki
melalui prosesi upacara adat yang harus disaksikan oleh tri saksi (tiga saksi)
yaitu Tuhan, Leluhur dan masyarakat dan disetujui oleh kelurga serta
dilegitimasi oleh perangkat desa adat. Jika kelurga putrika tidak menyetujui
terjadinya prosesi putrika, maka prosesi putrika tidak boleh dilaksanakan. Hal
ini berkaitan dengan peralihan kekayaan baik yang berupa benda materiil mapun
yang berupa non materiil seperti sanggah dan leluhur (Suastika, 2003).
Perempuan
yang telah diputrika memiliki status dan kedudukan sebagai laki-laki sesuai
dengan legitimasi adat yang telah diberikan kepadanya. Sehingga semenjak
prosesi putrika tersebut ia memiliki hak dan tangung jawab untuk menjadi ahli waris dan meneruskan garis
keturunan kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya putrika ia juga
memiliki tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala rumah tangga.
Sebagai kepala keluarga putrika juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua
kebutuhan keluarganya, termasuk kebutuhan orangtuanya. Ia juga menjadi penentu
setiap keputusan yang akan diambil oleh keluarga, berkaitan dengan permasalahan
yang ada di keluarganya. Sedangkan laki-kaki yang nyentana mempunyai
tangungjawab dan kewajiban sebagaimana layaknya perempuan dalam rumah tangga.
Ia membantu istri untuk menjalankan roda perekonomian keluarga serta mengurus anak-anak. Dalam mengambil
keputusan yang berkaitan dengan keluarga ia mesti meminta persetujuan dari
istrinya terlebih dahulu. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya perubahan
kewajiban dan tangungjawab yang sepenuhnya sudah ada pada pihak perempuan yang
berstatus putrika. Sebagai ahli waris perempuan putrika mempunyai kewenangan
“mutlak” berkaitan dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh keluarga.
Kewenangan ini dimiliki berkaitan dengan statusnya sebagai akhli waris dan
penerus keturunan keluarga. Sehingga ia diberikan keleluasaan untuk melakukan
tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi keluarga. Keluasan kewenangan
inilah yang tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan, khususnya dengan suami
yang merasa tidak diberikan ruang dan kebebasan untuk ikut menentukan arah
kebijakan keluarga.
Pada Desa adat Jegu perempuan yang telah melakukan perubahan status melalui
putrika diberikan tangungjawab dan kedudukan yang sama sebagaimana layaknya
laki-laki dalam menentukan ayahan desa dan tanah milik. Artinya ia diwajibkan
untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik
keluarganya.
b.
Konsep
Penikahaan Nyentana dipandang dari adat atau agama
Nyentana
merupakan hukum adat bukan kaidah agama hindu. Mungkin ada sedikit kaitannya dengan tradisi beragama
hindu di bali yang dikenal dengan istilah pradana dan purusa. Seseorang yang
nyentana hendakanya mendapat persetujuan dahulu dari segenap warga dadia
(soroh) dari lelaki dan perempuan, karena yang lelaki akan melepaskan hak dan kewajibanya
di sanggah lama(purusha) dan menjadi warga baru disanggah baru (pradana).
Lelaki yang nyentana biasanya menyembah dua kawitan yaitu kawitan yang lama dan
yang baru.
Dalam
sejarah banyak sekali leluhur orang bali yang sejak zaman dahulu mengambil
langkah nyentana, jadi tidak ada yang
salah dalam hal nyentana yang penting adalaha bagaiamana membina kehidupan yang
harmonis, sesuai dengan ajaran weda. Perkawinan itu bisa saja berlangsung
bahagia, tergantung dari bagaimana si suami – istri bisa menciptakan surga
dalam kehidupan rumah tangganya.
c.
Pergeseran
Konsep Nyentana Di Desa Jegu seiring dengan adanya konsep pernikahan pade
Ngelahan/Negen
Perubahan
paradigma dalam bidang pewarisan dan penerusan keturunan yang dapat dilakukan
dengan cara putrika dan perkawinan nyentana memiliki warna tersendiri bagi
masyarakat desa adat Jegu, khususnya bagi kaum perempuan. Mereka merasakan
keleluasaan dan sekaligus tangungjawab yang teramat berat untuk menjalankan
roda pemerintahan dalam keluarga. Lingkungan yang
semula memberikan perlakuan sebagaimana lanyaknya perempuan pada umumnya yang
hanya menurut pada laki-laki, seketika memberikan tangungjawab sebagai layaknya
laki-laki untuk memikul tangungjawab penuh, membuat perempuan putrika merasakan
diri pada beban yang teramat berat yang terlalu sulit untuk dipikulnya.
Perbedaan antara orang tua dengan suami seringkali menimbulkan persoalan
yang menyulitkan perempuan putrika untuk mengambil keputusan. Hal ini
berimplikasi pada kondisi psikologis perempuan putrika. Jika mereka bisa
menempatkan diri sebagai mana layaknya kepala keluarga, maka keutuhan rumah
tangganya akan tetap bisa terjaga dengan baik dan mengalami pematangan
psikologis. Sebaliknya, bila perempuan putrika tidak mampu memikul tangungjawab
dan persoalan yang dihadapi dalam keluarga ia akan mengalami kemunduran
psikologis dan kehancuran keluarga. Sementara keluasaan yang teramat besar
seringkali membuat perempuan putrika merasa menjadi orang yang mengatur, berkuasa, menentukan, dan bertindak arogan tanpa memikirkan
kedudukan dan posisi suami. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap
laki-laki yang nyentana, kebanyakan perempuan putrika yang ada di desa adat
Jegu merasa berkuasa, mengatur dan cenderung bersifat otoriter terhadap suami.
Hal ini dapat ditemukan ketika terjadi diskusi perempuan putrika lebih banyak
mempertahankan ide atau gagasannya demikian juga ketika terjadi perselisihan
perempuan putrika lebih dominan dibandingkan suaminya dan sering mengucapkan kata-kata yang
tidak pantas
(Sukadi, 2000).
Seiring berkembangnya zaman masyarakat
desa jegu mulai tidak terlalu mempedulikan tentang konsep pernikahaan nyentana.
Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan telah banyak generasi muda
desa adat Jegu pada khususnya menerapkan system pernikahan negen atau yang
sering disebut pade gelahan. Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah salah satu
sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun
istri bertindak sebagai Purusa. Dari hasil wawancara factor yang menyebabkan
adanya pernikaan pade gelahan ini adalah calon istri merupakan anak semata
wayang sehingga tidak ingin kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau
baik calon suami maupun istri merupakan anak semata wayang, Jika calon suami
memiliki saudara laki-laki, namun di dalam desa , kala, patra keluarga suami
tidak lazim mengadakan sistem Nyentana (hanya istri yang berperan senagai
Purusa), sehingga dilaksanakan sistem Perkawinan Gelahang Bareng/Negen.
Perkawinan Negen Dadua merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu dari
Perkawinan Negen Dadua telah memunculkan anak-anak perempuan di Bali untuk
mendapatkan hak waris dari orang tuanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
perkawinan ini merupakan persamaan derajat yang menjungjung tinggi HAM (Hak
Azasi Manusia), khususnya terhadap anak-anak yang lahir perempuan karena Masyarakat
Bali menganut sistem patrilinial. Sebagai syarat sahnya Perkawinan “Negen
Dadua” dapat disimpulkan apabila telah melakukan beberapa prosesi secara Agama
Hindu dan Adat Bali, yaitu : sudah dilangsungkan Upacara Pebyakaonan, dan tidak
dilakukan Upacara Mepamit, serta sudah disepakati oleh Mempelai, Orang Tua
(Ayah, Ibu kedua belah pihak) berguna untuk menyelamatkan keturunan bagi mereka
yang tidak memiliki anak laki-laki, manakala mempelai pria juga tidak berkenan
untuk nyentana( dalam winda, dkk).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian yang telah
dibahas diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Status dan kedudukan perempuan yang menerapkan konsep
nyentana dikeluarganya adalah perempuan yang statusnya menjadi laki-laki yang dilakukan melalui
prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Sehingga semenjak prosesi
putrika tersebut ia memiliki hak dan tangungjawab untuk menjadi ahli waris dan
meneruskan garis keturunan kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya
putrika ia juga memiliki tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai
kepala rumah tangga. Juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan
keluarganya, termasuk kebutuhan orangtuanya.
2. Perempuan yang
patrika di desa adat jegu mempunyai tanggung jawab dikeluarga dan di desa
adat. Juga diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk
mewarisi tanah waris milik keluarganya. Ikut bermusyawarah dan ikut bergotongroyong dalam
pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan di Desa jegu. Bila tidak ikut akan diberikan sangsi.
3. Konsep
pernikahaan nyentana di Bali dan di Desa Adat Jegu pada khususnya merupakan hukum
adat dan bukan merupakan kaidah dari agama hindu.
4. Pergeseran
konsep nyentana yang terjadi di Desa jegu merupakan bentuk dari dampak negatif
yang diperlihatkan keluarga yang sudah melakukan nyentana pada zaman dulu
sehingga kaum muda sekarang banyak menggunakan sistem pernikahaan pade gelahan
karena dianggap lebih adil.
DAFTAR PUSTAKA
Panetje, G. (1989). Aneka Catatan Tentang Hukum Adat
Bali : Denpasar ; Guna Agung.
Windia, P. Perkawinan pada Gelahang,Udayana University Press.
Sadia, W. (2001). Pedoman Penyusunan Proposal
Penelitian. Singaraja: Lembaga Penelitian IKIP Negeri Singaraja
Suastika, N. (2003). Sikap Piolitik dan Keseteraan Gender
Di Kalangan Kaum Wanita Pedesaan di Provinsi Bali Menuju Terwujudnya Masyarakat
Madani. Singaraja : IKIP Negeri Singaraja.
Sukadi. (2000). Tanah Laba Pura dan Pergeseran Nilai
Sosial-Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Jepang: The Toyota Foundation-Grant Number
017-Y-1996.
Suyatna, I.G. (1982). Ciri-ciri Kedinamsan Kelompok
Sosial Tradisional dan Peranannya dalam Pembangunan : Bogor Disertasi Fak
Pertanian IPB
Wiana, K. (1993). Palinggih di Pamerajan.
Denpasar: Upada Sastra.
Saya mau nyentana
BalasHapus