BOTANI DAUN PISANG KEPOK (BIU UDANG
SABHA)
(Musa paradisiaca normalis) DAN
FILOSOFINYA
DALAM UPACARA MEMANDIKAN MAYAT
(NYIRAMANG
LAYON)
Oleh :
Putu Utari, Ni Made Parwati,
Putu Agus Pratama Putra
Program Studi Pendidikan
Biologi Universitas Mahasaraswati Denpasar
Abstrak
Pisang telah ada sejak manusia ada. Pada kehidupan
masyarakat Hindu di Bali, tanaman pisang dimanfaatkan sebagai sarana upakara
yadnya. Salah satu jenis tanaman pisang yang digunakan, khususnya pada upacara
Memandikan Mayat yaitu daun pisang kepok (Biu Udang Sabha). Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui sisi botani daun pisang kepok (Biu Udang Sabha)
yang dimanfaatkan dalam upacara memandikan mayat dan untuk mengungkap makna
secara filosofi menurut agama Hindu.
Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan (1 Mei – 30
Mei 2009) di Desa Petang, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Sebagai populasi
adalah daun pisang kepok dan semua Sulinggih, Pemangku, tukang banten dan
masyarakat di desa Petang. Sampel diambil secara acak dari populasi yang
terdiri atas daun pisang kepok seluas 2,25 cm² sebanyak 4 lembar dan 2 (dua)
Sulinggih, 2 (dua) Pemangku, 4 (empat) tukang banten dan 15 (lima belas)
masyarakat di Desa Petang.
Penelitian ini dibedakan menjadi 3 (tiga yaitu: (1) Botani daun pisang kepok (Biu
Udang Sabha), (2) Filosofi daun pisang kepok (Biu Udang Sabha), (3) Pelestarian
dan pengetahuan pemanfaatan tanaman pisang kepok (Biu Udang Sabha). Data
Anatomi daun pisang diperoleh dari pengambilan serat dan stomata daun. Data
filosofi daun pisang kepok diperoleh dari hasil wawancara dengan 2 (dua)
Sulinggih, 2 (dua) Pemangku, dan 4 (empat) tukang banten di Desa Petang. Data
pelestarian dan pengetahuan pemanfaatan tanaman diperoleh dari hasil wawancara
dengan 15 (lima belas) masyarakat.
Hasil penelitian anatomi serat ditemukan
dua berkas serat bentuk sejajar. Sedangkan stomata ditemukan pada permukaan
atas rata-rata 5, epidermis 1251 dengan indeks stomata 0,4%. Pada permukaan
bawah rata-rata stomata 94, epidermis 540 indeks stomata 14% dan tipe stomata
anomositik. Dengan ditemukan indeks
stomata 14% pada permukaan bawah daun, ini berarti respirasi lebih banyak
terjadi pada permukaan bawah daun.
Hasil wawancara tentang filosofi daun pisang kapok yang
digunakan sebai alas Memandikan Mayat adalah sebagai lambang kulit Dewi Durgha.
Dan persentase pelestarian tanaman pisang kepok,
diketahui 80% serta pengetahuan pemanfaatannya 100% tetapi pengetahuan filosofi
sebanyak 13%.
Kata Kunci : daun, pisang,
upacara, botani, filoso
Korespondensi : Ni Putu Utari, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln. Kamboja 11 A Denpasar, Telp.
(0361)240985
The botany leaf banana kepok (biu udang sabha)
(mozes paradisiaca normalis) and the philosophy
in ceremony bathes corpse
(nyiramang layon)
by:
Putu Utari, Ni Made Parwati, Putu Agus Pratama Putra
Program Study Biology Education university
Mahasaraswati Denpasar
Abstract
Banana have
been there since human there. in hindu society life at balinese, banana plants
is maked use as tool upakara yadnya. The banana plants kind that used,
especially in ceremony bathes corpse that is banana leaf kepok (biu udang
sabha). This watchfulness aim detects banana leaf botany side kepok (biu shrimp
sabha) that maked use in ceremony bathes corpse and to uncover meaning
according to philosophy follows hindu.
His
watchfulness is carried out during one month (1 may - 30 mays 2009) at village
afternoon, district afternoon, naughty regency. As population banana leaf kepok
and all sulinggih, pemang, artisan banten and society at village afternoon.
Sample is taken at random from population that consist of banana leaf kepok for
the width of 2,25 cm² as much as 4 sheet and 2 (two) sulinggih, 2 (two) pemang
4 (four) artisans banten and 15 (five society compassion)s at Petang village.
This
watchfulness is discriminated to be 3 (three that is: (1) banana leaf botany
kepok (biu Udang sabha), (2) banana leaf philosophy kepok (biu Udang sabha),
(3) preservation and banana plants utilization erudition kepok (biu shrimp
sabha). Banana leaf anatomy data is got from fiber taking and stomata leaf.
banana leaf philosophy data kepok got from interview result with 2 (two)
sulinggih, 2 (two) pemang, and 4 (four)
artisans banten at Petang village . Preservation data and plants utilization
erudition is got from interview result with 15 (five society compassion)
society.
Fiber anatomy
watchfulness result is found two form fiber bundles in a line. While stomata
found in surface on average 5, epidermis 1251 with index stomata 0,4%. in
surface under average stomata 94, epidermis 540 indexes stomata 14% and type
stomata anomositik. With found index stomata 14% in surface under leaf, this
means respirasi more many happen in surface under leaf.
Interview
result about kapok banana leaf philosophy that used sebai covering bathes
corpse as goddess skin symbol Dewi Durgha. And banana plants preservation
percentage kepok, known 80% with the utilization erudition 100% but philosophy
erudition as much as 13%.
Keyword: leaf,
banana, ceremony, botany, philosophy
Correspondence: Putu Utari, Teachership Faculty and Education
Science University Mahasaraswati Denpasar, jln. Kamboja 11 a denpasar, telp.
(0361)240985
PENDAHULUAN
Pisang
telah ada sejak manusia ada. Saat itu pisang masih merupakan tanaman liar
karena awal kebudayaan manusia adalah sebagai pengumpul. Mereka hanya
mengumpulkan makanan dari tumbuhan yang ada di sekitar mereka tanpa menanamnya
(Suyanti, 1990).
Menurut
Simonds dan Shephred (1993) disebutkan bahwa pembudidayaan tanaman pisang
terjadi di India dari pisang-pisang liar, terbukti ditemukan batu-batu kuno di
Yunani yang bertuliskan tentang dibudidayakannya pisang sekitar 300 tahun SM di
lembah sungai Indus.
Hampir seluruh
bagian tanaman pisang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
mulai dari rimpang pisang dimanfatkan untuk obat pendarahan dalam perut, batang
semu untuk obat ginjal dan penawar racun, tangkai daun pisang dimanfaatkan
sebagai cetakan jajanan Bali, daun pisang digunakan sebagai pembungkus makanan
tradisional Indonesia. Demikian halnya pada kehidupan masyarakat Hindu di Bali,
tanaman pisang dimanfaatkan sebagai sarana upakara
Yadnya. Seperti batang pisang dimanfaatkan sebagai tempat tusukan sate
dalam pembuatan jerimpen sate,
sebagai media menancapkan wayang oleh dalang, dan sebagai alas pembakaran
mayat, daun pisang yang masih hijau dimanfaatkan sebgai pembuatan kwangen, canang daun dan sebagai alas
pembuatan banten. Menurut Sudarsana
(2002) khusus daun pisang kepok dimanfaatkan sebagai alas memandikan mayat.
Buah pisang dimanfaatkan pada berbagai banten.
Menurut Lontar Pelutuk Banten (1992)
betapapun besar dan megahnya suatu upakara tanpa buah pisang sebagai pelengkap
dinyatakan upakara tersebut tidak sempurna.
Masyarakat Bali mengenal pisang kepok dengan nama biu udang sabha. Pisang kepok (biu udang sabha) hampir semua bagian
tanaman ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun sebagai
saran upakara yadnya, khusus daun pisang kepok (biu udang sabha) digunakan sebagai sarana upakara dalam upacara
memandikan mayat.
Selama ini beberapa tulisan yang ada belum
terungkap, ”mengapa daun pisang kepok (biu
udang sabha) digunakan dalam upacara memandikan mayat?” Informasi mengenai
pemanfaatan daun pisang kepok (biu udang
sabha) yang digunakan dalam upacara memandikan mayat masih terbatas, pada
kata / kalimat yang diucapkan oleh Sulinggih, Pemangku, tukang banten dan
masyarakat serta penularan penularan terbatas pada informasi lisan. Belum ada
informasi tertulis dengan jelas. Berdasarkan hal tersebut diatas, ingin
diungkapkan kegunaan daun pisang kepok (biu
udang sabha) dalam upacar memandikan mayat dari sisi botani dan filosofinya
sebagai bahan penelitian secara ilmiah.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
”Bagaimana informasi yang dapat diungkapkan tentang sisi botani dan filosofi
pemanfaatan daun pisang kepok (biu udang
sabha) dalam upacar memandikan mayat (Nyiramang
Layon) di Desa Petang, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung?”
TUJUAN
Adapun
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sisi botani daun pisang kepok (biu udang sabha) yang dimanfaatkan dalam
upacara memandikan mayat (Nyiramang Layon),
mengungkapkan makna secara filosofi menurut agama Hindu daun pisang kepok (biu udang sabha) yang digunakan dalam
upacara memandikan mayat (Nyiramang Layon).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian deskriptif karena data yang dikumpulkan dan
dianalisis diperoleh dari uraian tentang peristiwa atau situasi yang ada sesuai
fenomena yang bersangkutan. Populasi untuk penelitian botani dan daun pisang
kepok adalah daun pisang kepok yang agak tua namun masih berwarna hijau.
Sedangkan populasi untuk penelitian filosofi daun pisang kepok dalam upacara Memandikan Mayat adalah semua Sulinggih,
Pemangku, Tukang banten dan masyarakat yang ada di desa Petang. Sampel untuk
penelitian botani daun pisang kepok adalah daun pisang kepok seluas 2,25 cm²
sebanyak 4 lembar. Sedangkan sampel dalam penelitian filosofi daun pisang kepok
dalam upacara Memandikan Mayat diambil secara acak dengan cara pengundian dari
populasi. Diperoleh sampel yaitu 2 orang Sulinggih, 2 orang Pemangku, 4 orang
tukang banten dan 15 masyarakat yang ada di Desa Petang, Kecamatan Petang,
Kabupaten Badung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian anatomi serat dan stomata daun
pisang kepok (biu udang sabha), serta
perhitungan indeks stomata pada permukaan bawah dan atas daun, dapat dilihat
pada foto berikut ini:
Gambar 1. Stomata Pada
Permukaan Bawah Daun
Keterangan:
1.
Serat daun 4.
Sel Tetangga
2.
Sel Penutup 5.
Epidermis
3.
Porus
Gambar 2. Stomata pada Permukaan Atas Daun
Keterangan:
1. Epidermis
2. Stomata
Untuk memudahkan pengamtan dalam mikroskop, maka
daun pisang kepok dengan luas 9 cm2 dibagi menjadi 4
(empat),sehingga luas masing – masing daun menjadi 2,25 cm2.
Tabel 1. Hasil Pengamtan
Anatomi Serat dan Stomata Daun Pisang Kepok (Biu
Udang Sabha) pada Luas Daun 2,25 cm2
Anatomi
Daun
|
Ulangan
|
Lapang
Pandang
|
Hasil
Pengamatan
|
Jumlah
Serat
|
||
Jumlah
Stomata (S)
|
Jumlah
Epidermis (E)
|
Satuan luas dau (L) cm2
|
||||
Permukaan
Bawah
|
I
|
1
2
3
4
5
|
22
21
23
25
24
|
138
140
136
130
134
|
2,25
2,25
2,25
2,25
2,25
|
2
2
2
2
2
|
Rata-rata
|
|
23
|
135,6
|
2,25
|
2
|
|
II
|
1
2
3
4
5
|
22
24
23
23
24
|
137
133
136
138
132
|
2,25
2,25
2,25
2,25
2,25
|
2
2
2
2
2
|
|
Rata-rata
|
|
23,2
|
135,6
|
2,25
|
2
|
|
|
III
|
1
2
3
4
5
|
23
22
25
25
21
|
134
136
134
134
141
|
2,25
2,25
2,25
2,25
2,25
|
2
1
1
2
2
|
Rata-rata
|
|
23,2
|
135,87
|
2,25
|
1,6
|
|
IV
|
1
2
3
4
5
|
26
25
23
24
25
|
130
134
136
131
134
|
2,25
2,25
2,25
2,25
2,25
|
1
2
1
2
2
|
|
Rata-rata
|
|
24,6
|
133
|
2,25
|
1,6
|
|
Permukaan
Atas
|
I
|
1
2
3
4
5
|
1
2
1
1
7
|
310
312
311
315
314
|
2,25
2,25
2,25
2,25
2,25
|
0
0
0
0
0
|
Rata-rata
|
|
1,4
|
312,4
|
2,25
|
0
|
|
II
|
1
2
3
4
5
|
2
1
1
2
1
|
306
304
303
310
311
|
2,25
2,25
2,25
2,25
2,25
|
0
0
0
0
0
|
|
Rata-rata
|
|
1,4
|
306,8
|
2,25
|
0
|
|
III
|
1
2
3
4
5
|
1
1
2
1
1
|
313
315
310
314
317
|
2,25
2,25
2,25
2,25
2,25
|
0
0
0
0
0
|
|
Rata-rata
|
|
1,2
|
313,8
|
2,25
|
0
|
|
IV
|
1
2
3
4
5
|
1
2
1
1
1
|
315
320
318
320
319
|
2,25
2,25
2,25
2,25
2,25
|
0
0
0
0
0
|
|
Rata-rata
|
|
1,2
|
318,4
|
2,25
|
0
|
Tabel 2. Hasil Pengamatan
Anatomi serat Stomata Daun Pisang Kepok (Biu
Udang Sabha) pada Luas Daun 9 cm2
Anatomi Daun
|
Hasil Pengamatan
|
||
Jumlah rata – rata Stomata (S)
|
Jumlah rata - rata Epidermis (E)
|
Luas daun
(cm2)
|
|
Permukaan bawah
|
94
|
540
|
9
|
Permukaan atas
|
5
|
1251
|
9
|
Fisiologi daun pisang kepok ( biu udang sabha ) dalam upacara memandikan mayat (Nyirangmang
Layon). Hasil wawancara dengan 8 (delapan) orang yang terdiri atas 2 (dua)
orang sulinggih, 2 (dua) orang pemangku dan 4 (empat) orang tukang banten.
Botani daun pisang kepok ( biu udang sabha )
Berdasarkan hasil penilitian sayatan
irisan paradermal didapatkan bahwa stomata ditemukan pada permukaan atas
dan bawah daun pisang kepok ( biu udang
sabha ). Sel – sel epidermis yang ditemukan berbentuk heksagonal dan
stomata berbentuk ginjal bertipe anomositik yaitu memiliki sel tetangga tidak
tertentu dengan letak stomata berderet beraturan. Jumlah stomata dan epidermis
yang terdapat pada permukaan atas dan bawah pada satuan luas daun 9 cm2
berbeda, bagian atas jumlah rata-rata stomata 5, epidermis 1251 sedangkan
bagian bawah jumlah rata-rata stomata 94, epidermis 540. Kemudian indeks
stomata dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Rata-rata
IS pada permukaan bawah, yaitu:
Rata-rata
IS pada permukaan atas, yaitu:
Hasil
pengamatan anatomi serat daun pisang kepok ternyata pada permukaan atas tidak
ditemukan serat, tetapi pada permukaan bawah ditemukan rata-rata 2 (dua) berkas
serat bentuk sejajar.
Filosofi daun pisang kepok ( biu udang sabha ) dalam memandikan mayat
(Nyiramangan Layon)Berdasarkan hasil
wawancara dengan para sulinggih, pemangku, dan tukang banten maka dapat
dijelaskan bahwa tujuan upacara memandikan mayat (nyiramang layon) adalah untuk mengadakan pembersihan jasmani dan
penyucian Sang Panca Maha Butha yang
ada pada tubuh jenazah (Bhuana Alit),
karena akan kembali ke asalanya yakni kepada Panca Maha Butha yang ada di alam ini (Bhuana Agung). Dalam ajaran agama Hindu tubuh manusia disebut
dengan Bhuana Alit (mikrokosmos) dan
jagat raya disebut dengan Bhuana Agung (makrokosmos).
Oleh karena itu bila manusia itu meninggl makadasar pembentukannya akan kembali
ke alam ini. Makna upacara memandikan
mayat adalah untuk pembersihan secara lahiriah dan penyucian secara batiniah,
disertai dengan berbagai perlengkapan yang bermakna untuk
penjelmaan/reinkarnasi selanjutnya menjadi orang yang sangat sempurna. Daun
pisang kepok digunakan sebagai alas dalam upacara memandikan mayat. Menurut
seorang mangku dalang, sang Duryadana dalam epos Mahabrata memakai daup pisang
kepok (biu udang sabha) sebagai
penutup kemaluannya, saat menghadap ibunya karena malu menghadap dalam keadaan
telanjang bulat padahal ibunya menyuruhnya telanjang untuk diberi kekuatan,
sampai sekarang dipakai. Sedangkan menurut seorang ida pedanda bahwa daun
pisang kepok (biu udang sabha) yang
digunakan sebagai alas memandikan mayat dilambangkan dengan kulit dari dewi
Durga.
Dalam upacara memandikan mayat, penggunaan daup
pisang kepok tidak bisa digantikan dengan daun pisang yang lain karena hanya
daun pisang kepok yang mengandung makna bahwa ”dari karmanya sendirilah
menentukan dapat sorga atau tidak”. Untuk itu sedapat mungkin diupayakan, tetapi
agama tidak mengharuskan umatnya jika memang tidak mendapatkan daun pisang
kepok. Daun Pisang kepok juga digunakan dalam upacara mecaru (butha yadnya)
sebagai daun telujungan pada sanggah cukcuk.
SIMPULAN
Daun pisang kepok (biu udang sabha) memiliki jumlah stomata, epidermis dan indeks
stomata yang berbeda, antara permukaan atas dan bawah daun. Bagian atas jumlah
stomata 5, epidermis 1251 dan indeks stomata 0,4%. Sedangkan bagian bawah
jumlah stomata 94, epidermis 540, indeks stomata 14% dan tipe stomata
anomositik serta ditemukan 2 berkas serat daun bentuk sejajar hanya pada
permukaan bawah daun.
Filosofi daun pisang kepok dalam upacara
Memandikan Mayat bertujuan upacara Memandikan Mayat adalah untuk mengadakan
pembersihan jasmani dan penyucian rohani pada jenazah sebagai rangkaian upacara
selanjutnya. Makna upacara Memandikan Mayat yaitu supayua orang yang meninggal
bila menjelma (reinkarnasi) menjadi orang yang sempurna. Makna simbolis daun
pisang kepok dalam upacara memandikan Mayat yaitu dilambangkan sebagai kulit
Dewi Durgha. Penggunaan daun pisang kepok pada upacara Memandikan Mayat tidak
bisa diganti dengan daun pisang yang lain karena memiliki makna simbolis
tertentu. Sumber yang menjelaskan tentang penggunaan daun pisang kepok dalam
upacara Memandikan Mayat adalah lontar Pitra Yadnya dan buku Pitra Yadnya. Pelestarian
dan Pengetahuan pemanfaatan tanaman pisang kepok adalah hampir semua masyarakat
di Desa Petang menanam pisang kepok, ini berarti mereka telah melestarikan
tanaman ini, karena menyadari pentingnya manfaat daun pisang kepok khususnya
pada upacara Memandikan Mayat. Pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan daun
pisang kepok 100% mengetahui, namun makna secara filosofi, pengetahuan
masyarakat sangat rendah sekali yaitu 13%, ini berarti masyarakat kurang
mendapat penyuluhan yang khusus mengenai makna secara filosofi penggunaan daun
pisang kepok pada upacaar Memandikan Mayat.
.